Sumatera – Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera memicu beragam reaksi dari masyarakat. Di tengah upaya pemerintah yang sejak hari pertama telah mengerahkan TNI-Polri, kementerian, lembaga, dan BUMN untuk menangani dampak bencana, muncul pula narasi-narasi provokatif di media sosial dan platform digital lainnya.
Narasi tersebut kerap menyajikan informasi secara sepihak dan membentuk opini negatif terhadap pemerintah. Menanggapi hal ini, pengamat kebijakan publik sekaligus peneliti senior Citra Institute, Efriza, menilai bahwa persoalan utama bukan pada lambannya respons pemerintah, melainkan pada rendahnya literasi informasi di ruang digital.
“Kritik itu penting, tetapi harus berbasis data, bukan asumsi atau emosi. Respons pemerintah di Sumatera sudah jelas terlihat melalui kerja cepat TNI-Polri dan kementerian terkait,” ujar Efriza.
*Langkah Cepat Pemerintah di Tengah Bencana*
Sejak awal kejadian, pemerintah langsung melakukan koordinasi lintas sektor untuk mempercepat proses evakuasi, distribusi bantuan, dan pemulihan layanan dasar. TNI dan Polri menjadi ujung tombak dalam proses penyelamatan, pencarian korban, serta pengamanan wilayah terdampak. Sementara itu, kementerian dan BUMN turut bergerak cepat menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pemulihan jaringan listrik oleh PLN yang berhasil mencapai 100 persen.
Pemerintah pusat dan daerah juga bersinergi dalam satu komando penanganan darurat, memastikan setiap langkah yang diambil bersifat cepat dan terukur. Langkah ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam melindungi keselamatan warga dan mempercepat pemulihan pascabencana.
*Narasi Negatif dan Kepentingan Terselubung*
Di balik upaya penanganan yang masif, sejumlah pihak justru memanfaatkan situasi untuk menyebarkan opini negatif. Beberapa akun dan kelompok digital terindikasi menyebarkan hoaks, menggunakan framing yang tidak berimbang, serta memanfaatkan momen bencana untuk kepentingan politik.
“Ada pihak yang selalu mencari celah untuk menggiring opini publik. Karena itu, masyarakat harus cerdas memilah informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang tidak memiliki dasar,” tegas Efriza.
*Pentingnya Literasi Digital di Masa Krisis*
Dalam situasi darurat, kemampuan masyarakat untuk menyaring informasi menjadi sangat krusial. Efriza mengingatkan pentingnya melakukan verifikasi terhadap setiap informasi yang diterima, tidak menyebarkan konten provokatif tanpa dasar, serta memahami konteks kebencanaan secara objektif.
“Literasi digital adalah tameng utama dalam menghadapi banjir informasi. Ketika publik kuat dalam verifikasi data, maka disinformasi otomatis melemah,” tambahnya.
*Waspadai Pengalihan Isu dan Seruan untuk Bersatu*
Beberapa narasi negatif juga disinyalir sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar lainnya, seperti kasus korupsi atau konflik politik. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap konten dari sumber yang tidak kredibel atau yang menunjukkan pola penyebaran terstruktur.
Dalam kondisi bencana, empati dan solidaritas menjadi kunci utama. Fokus utama seharusnya tertuju pada upaya penyelamatan dan pemulihan, bukan pada provokasi yang dapat memperkeruh suasana. Masyarakat diharapkan tetap tenang, meningkatkan literasi digital, serta bijak dalam menyikapi dan menyebarkan informasi.
Langkah ini penting untuk memperkuat ketahanan sosial dan mendukung kelancaran penanganan bencana di Sumatera.*
Konten Disadur Dari : https://portal7.co.id/post/penanganan-bencana-di-sumatera-respons-pemerintah-dan-tantangan-literasi-publik